Semoga ada manfaatnya...
Di titik-titik tertentu, kita tidak memerlukan kepintaran. Dalam keadaan lain, kepintaran malah menghadirkan petaka.
Profesi sebagai pembicara publik dan konsultan, kadang mirip psikolog dan dokter. Begitu orang tahu profesi kita, langsung saja orang menghadang dengan sejumlah pertanyaan. Kalau kebetulan pertanyaannya berkisar di sekitar bidang keahlian kita, tidak apa-apa, semuanya aman dan lancar. Namun, banyak orang yang tidak bisa membedakan, mana pertanyaan yang tepat buat konsultan manajemen, ekonom, pakar ilmu sosial dan politik, atau yang lain.
Saya pernah ditanya proyeksi nilai dolar terhadap rupiah, kapan ekonomi recovery, kapan kerusuhan berakhir, siapa yang akan jadi presiden mendatang, apa yang terjadi bila Mega Wati kalah, sampai dengan skandal bank Bali yang menyeret sejumlah elit politik.
Tentu saja seluruh kepintaran yang saya miliki tidak bisa menghasilkan jawaban yang memuaskan. Terutama karena berada di luar bidang keahlian yang saya tekuni. Namun, yang namanya klien, peserta seminar, atau peserta kursus, banyak yang tidak mau tahu. Merasa diri membayar, maka saya harus menjawabnya dengan memuaskan.
Di sinilah orang memerlukan lebih dari sekadar kepintaran. Di titik-titik tertentu, kita tidak memerlukan kepintaran. Dalam keadaan lain, kepintaran malah menghadirkan petaka.
Bagi mereka yang mengagungkan sekolah lengkap dengan kepintarannya, mungkin argumen saya amat berlebihan. Namun, setelah lama malang melintang di dunia praktek, kepintaran bukanlah segala-galanya. Agar seimbang, serta sampai pada sasarannya, kepintaran malah memerlukan pengelola. Secara lebih khusus, agar tidak liar tak karuan. Atau, menjadi musuh karir bagi siapa saja yang tidak bisa mengelolanya.
Sejumlah anak muda pintar yang baru tamat sekolah, orang tua yang amat close minded dengan kepintaran dan pengalamannya, atau pemimpin yang tidak punya hal lain selain bersikap sok pintar, adalah contoh-contoh spesies manusia yang dikelola oleh kepintarannya. Untuk kemudian, menjadikan kepintarannya sebagai senjata yang ditodongkan ke tubuhnya sendiri.
Dalam kasus terakhir, kepintaran menjadi sumber petaka. Tidak berlaku pepatah yang berucap knowledge is power. Yang benar, knowledge is enemy.
Karena demikian seringnya berinteraksi dengan banyak orang, setahun bisa mangajar di depan lebih dari seratus ribu orang, saya merasakan sekali batas daya bantu dari kepintaran. Kalau saya hanya memiliki kepintaran untuk dipamerkan, barangkali hanya mampu jadi manusia sombong yang dimusuhi banyak orang.
Pengalaman saya bertutur, tubuh kita mengalami gelombang pasang surut mirip dengan cuaca. Meminjam analogi cantik dan menarik sebagaimana pernah dibuat Huanchu Daoren dalam Back To The Beginning, fikiran yang gembira mirip dengan bintang yang terang. Fikiran yang marah seperti angin ribut. Fikiran yang jernih ibarat angin sepoi atau embun pagi yang sejuk. Fikiran yang penuh stres sama dengan matahari panas, atau kabut musim gugur yang kejam.
Akan tetapi, apapun cuacanya, langit tetap jernih berwarna biru. Betapa indah, jernih dan konrtibutifnya fikiran yang seperti langit. Dalam keadaan digoyang dan diguncang pertanyaan apapun, ketenangan dan kejernihan senantiasa hadir sebagai sahabat.
Kembali ke cerita awal tentang kepintaran, ia tidak selalu bisa mempertahankan birunya langit fikiran. Terkadang, malah menjadi musuh dan penghalang terciptanya 'langit biru' fikiran.
Saya tidak tahu, sampai tataran mana langit biru yang saya miliki. Karena tingkatan saya dinilai oleh orang lain. Namun, jutaan godaan emosi yang telah saya lewati. Tingginya gunung hinaan yang pernah ditujukan ke saya. Luasnya hamparan hujatan yang pernah saya lalui. Banyaknya kesulitan hidup yang pernah saya alami. Semua ini, dengan penuh rasa syukur telah berpengaruh amat besar terhadap kejernihan langit biru saya dalam bekerja.
Ada seorang MBA muda dari AS yang mengagumi cara saya menjawab pertanyaan. Ada orang tua yang terkejut ketika mengetahui umur saya sama dengan anak bungsunya. Ada pemilik perusahaan yang menyerahkan anak-anaknya untuk saya bimbing. Namun, tentu saja orang yang tidak senang, menghujat dan memusuhi saya juga masih ada.
Lepas dari semua ini, telah lama saya mendidik diri untuk tampil sama di depan orang yang memuji dan membenci. Mempertahankan kedekatan yang sama antara yang setuju dengan tidak setuju. Tersenyum, baik ketika mengalami suka maupun duka. Berusaha tenang, baik ketika sunyi maupun ramai.
Masih jauh dari sempurna tentunya. Namun, proses belajar terakhir memiliki kontribusi yang amat besar terhadap penciptaan langit biru fikiran.
Saya mengucapkan terimakasih ke Tuhan, ketika habis dimaki orang. Saya bergembira sekali, tatkala berhasil menaklukkan dorongan untuk lari dari masalah. Saya amat menikmati kesalahan yang timbul dari kebodohan dan ketidaktahuan. Sehabis dilecehkan orang, kerap saya mengucapkan terimakasih atas makiannya.
Semua ini saya lakukan dengan amat serius, karena ia tidak hanya memberi nilai tambah pada seluruh kepintaran yang saya miliki, tetapi juga amat berfaedah ketika kepintaran mulai tidak ada gunanya.
Kalau saya bukan manusia sekolahan Anda boleh curiga. Tetapi, sebagai orang yang pernah menjelajahi ilmu pengetahuan sampai tataran pilosopis, saya faham betul akan batas-batas pengetahuan.
Begitu sampai pada batas-batas terakhir, di sinilah birunya langit fikiran, menjadi sesuatu yang amat berharga.
0 comments:
Posting Komentar