Semoga ada manfaatnya...
Dunia pencerahan baru kita temukan kalau kita mulai menemukan orang Kristen di Masjid, saudara-saudara Muslim di Vihara, sahabat-sahabat beragama Budha di Pura, atau penganut Hindu di Gereja.
Salah satu dari sangat sedikit buku yang saya baca pelan-pelan sampai habis adalah buku Dalai Lama bersama Howard C. Cutter yang berjudul The Art of Happiness. Awalnya, buku ini saya baca secara cepat. Akan tetapi, semakin diselami, ia seperti menghadirkan kedamaian tersendiri. Seperti berhadapan dengan manusia dengan tantangan yang amat besar - bayangkan negerinya dianeksasi Cina dalam waktu yang lama - namun masih bisa menyebut diri berbahagia.
Lama sempat saya dibuat tercenung oleh tokoh perdamaian terakhir. Dan merasakan sendiri, betapa kecilnya saya di hadapan 'raksasa' kehidupan sehebat Dalai Lama. Di manapun kita bertemu tokoh ini, di televisi, di media cetak atau di hampir semua kesempatan, kita senantiasa bertemu dengan mimik muka yang serba tersenyum. Padahal, kehidupannya - sebagaimana dituturkan Cutter - tidak sedikit yang ditandai oleh banjir kesedihan.
Ada seorang rahib Tibet yang disiksa dalam tahanan Cina selama lebih dari dua puluh tahun. Orang tua yang menangis karena anaknya dididik di sekolah yang menginjak-injak ajaran dan keyakinan orang Tibet. Bayangkan, bangsa Tibet yang dalam waktu amat lama meyakini tidak boleh membunuh segala sesuatu yang bernyawa, tiba-tiba generasi mudanya disuruh membunuh binatang setiap kali pergi ke sekolah. Dan semakin besar hasil bunuhannya, maka semakin besar juga nilainya di sekolah. Belum lagi penghancuran tempat-tempat suci bangsa Tibet.
Dirangkum menjadi satu, kehidupan seorang Dalai Lama ditandai oleh banjir bandang kesedihan yang demikian dahsyat. Kalau orang biasa seperti saya mengalaminya, mungkin ceritanya menjadi amat lain. Sehingga menimbulkan pertanyaan besar bagi saya, apa kendaraan dahsyat yang bisa membawa Dalai Lama sampai dalam tataran kebahagiaan yang sekarang ?
Sampai sekarangpun saya masih meraba-raba. Yang jelas, sebagai manusia yang hidup di zaman ini, tidak sedikit orang menggunakan materi dan hal-hal eksternal lain sebagai kendaraan menuju kebahagiaan. Perlombaan materi terjadi di mana-mana. Lomba model terakhir, tidak hanya monopoli orang kota. Di desapun perlombaan terjadi. Dari perlombaan materi sampai dengan perlombaan 'spiritual'. Terutama, melalui perlombaan mau disebut paling mengetahui, paling peka dengan sinyal-sinyal Tuhan dan sejenisnya.
Bahkan di pojokan tertentu kehidupan beragama juga terjadi perlombaan. Kasus pembunuhan antarumat di Maluku, demikian juga di Yugoslavia hanyalah sebagian kecil dari demikian banyak kasus lomba mau disebut lebih benar. Maka jadilah kita sekumpulan manusia yang menempatkan 'perlombaan' sebagai kendaraan menuju kebahagiaan. Kalau ukurannya adalah pembunuhan yang tidak pernah berhenti, kesengsaraan yang meningkat terus, atau kebencian meningkat serta kasih sayang yang menyusut, maka boleh dikatakan bahwa 'perlombaan' sebagai kendaraan menuju kebahagiaan telah gagal membawa kita ke sana.
Sebagai orang yang hadir di banyak kesempatan, sering kali saya bertemu manusia yang kesepian di keramaian. Atau kelaparan di tengah kekayaan materi yang melimpah. Atau malah dihimpit kebencian di tempat ibadah yang suci dan mulia. Dan secara jujur harus saya katakan ke Anda, sayapun kadang-kadang ditulari penyakit serupa. Serta membuat saya bertanya, dalam struktur sosial seperti apakah kita ini sedang hidup ?
Seorang sahabat sekaligus guru yang sering memberi inspirasi ke saya pernah bertutur, dunia pencerahan baru kita temukan kalau kita mulai menemukan orang Kristen di Masjid, saudara-saudara Muslim di Vihara, sahabat-sahabat beragama Budha di Pura, atau penganut Hindu di Gereja. Tentu saja maksudnya bukan kehadiran fisik. Namun kehadiran secara persahabatan. Terutama, persahabatan dalam kedamaian dan kebahagiaan. Kalau masih kita merasakan permusuhan dan perlombaan kebenaran di tempat ibadah, saya mau bertanya : masihkan kita layak untuk berdoa dari tempat suci ini ?
Kembali ke soal awal tentang kendaraan menuju kebahagiaan, bercermin dari ini semua, banyak orang menyimpulkan bahwa perlombaan materi, maupun perlombaan kebenaran, bukanlah kendaraan yang tepat dalam hal ini. Bahkan, telah terbukti menjerumuskan kemanusiaan ke dalam lembah dalam dan mengerikan. Lantas punyakah kita kendaraan alternatif ?
Bercermin dari kehidupan mulia Dalai Lama, rupanya beliau telah lama tidak menggunakan kendaraan sebagaimana disebutkan di atas. Dengan perjalanannya keliling dunia, bertutur serta berceramah tentang perdamaian ke siapa saja yang mau mendengarkan, bersahabat dengan musuh yang menganeksasi negerinya, ia sedang menunjukkan ke kita tentang kendaraan beliau yang amat lain.
Di sebuah kesempatan ia pernah bertanya ke seorang rahib Budha yang baru saja keluar dari penjara Cina selama puluhan tahun. Ketika ditanya, bahaya terbesar yang dihadapi ketika rahib tadi berada di penjara, ia menjawab sederhana : kehilangan rasa perdamaian dengan bangsa Cina.
Anda bebas menyimpulkan semua pengalaman ini, namun bagi saya ia memberi inspirasi tentang kendaraan sebagai sarana menuju kebahagiaan. Rupanya, kualitas rangkulan kita bersama kehidupan dan orang lain, bisa menjadi kendaraan menuju kebahagiaan, yang jauh lebih memadai dibandingkan kendaraan manapun. Anda punya kendaraan lain ?
0 comments:
Posting Komentar