Kutipan dari : Gede Prama Ideas
Semoga ada manfaatnya...
Ada sebuah tempat manusia berkumpul yang sangat suka saya kunjungi. Tempat tersebut adalah pusat mainan anak-anak. Alasannya, di tempat ini saya bertemu puluhan manusia dewasa yang semuanya datang ke tempat itu dengan spirit menyayangi. Ada Ibu yang tersenyum bangga melihat puterinya berani naik kuda-kudaan seorang diri. Ada Bapak yang bertepuk tangan gembira menyaksikan puteranya yang bisa mengalahkan monster buatan yang ada dalam games. Ada kakek yang penuh kesabaran menemani cucunya yang nakal dan cerewet. Ada nenek yang bertutur tanpa ditanya tentang cucunya yang baru belajar melafalkan kata nenek.
Sungguh sebuah environment of loving yang sangat menyejukkan. Semuanya penuh dengan senyum, memberi, menyanyangi, dan mencintai. Kendati Kahlil Gibran, dalam sebuah cerita pendeknya, pernah mengkhawatirkan bahwa semangat seperti ini sudah meninggalkan kota-kota modern, saya masih bersukur, di kota Jakarta yang individualis ini masih menemukan environment of loving. Sebuah lingkungan, yang menyerupai taman manusia penuh keindahan. Betapa tidak indah, tidak ada orang yang berteriak, memaki, menyalahkan, apa lagi membunuh orang sambil mengarak kepalanya, sebagaimana terjadi di Jawa Timur.
Sayangnya, saya hanya menemukan lingkungan seperti ini di pusat-pusat mainan anak-anak. Begitu sampai di jalan, di lingkungan kantor, lingkungan politik, jalanan yang penuh demonstrasi, membaca media tentang apa yang terjadi di tempat lain, saya sepertinya menemukan dunia yang amat lain.
Di jalan, ada orang yang saling serobot. Bila mana perlu sambil menyerempet. Di kantor, suasana penuh dengan sikut-sikutan atas nama prestasi. Di lingkungan politik penuh dengan orang yang haus kekuasaan. Dengan topeng demokrasi, kepentingan rakyat, pembangunan ekonomi dan gombalan sejenis, banyak politisi berani mengorbankan nyawa orang sekalipun. Di halaman-halaman media, ada ribuan laporan yang menyebar isu, kebencian, dan kedengkian.
Digabung menjadi satu, masyarakat kita memang masih jauh dari taman manusia yang penuh keindahan. Bagaimana bisa disebut indah, kalau ke kantor diselimuti was-was dicopet, dirampok atau diperkosa orang. Di mana letaknya keasrian, jika setiap hari kita membaca berita pembunuhan.
Saya memang seorang pemimpi sebagaimana John Lennon dengan lagu imagine-nya. Demikian tingginya mimpi-mimpi saya, sampai-sampai ada rekan menyebut saya hidup di langit, tidak di bumi. Pasalnya, setiap kali datang ke negeri orang, dan ada yang bertanya kewarganegaraan, saya menjawabnya dengan 'Iam a citizen of humanity'. Bila ada yang bertanya agama, saya menjawabnya dengan a religion of humanity.
Realistis atau tidak, saya menikmatinya. Akan tetapi, banyak rekan dan relasi yang mengerutkan dahi dengan gaya hidup aneh terakhir. Salah satu contoh, di voice mail yang merekam pesan-pesan telepon genggam, biasanya orang memasukkan kalimat seperti : 'maaf saya lagi tidak bisa dihubungi, silahkan tinggalkan pesan, dst,dst'. Namun, begitu memasuki voice mail saya ada puluhan ibu-ibu dan wanita yang terkejut dan lantas protes penuh tanda tanya. Biangnya, saya meninggalkan kalimat 'I love you' saja sebagai tanda tidak bisa dihubungi. Banyak yang lantas tersinggung dan tidak mau meninggalkan pesan. Sebagian masih menyempatkan diri bertanya : 'kenapa ?'. Sebagian lagi menyebut saya aneh, keliru, gila dan sebutan sejenis.
Sebagaimana Anda tahu, kata love memang berdimensi amat luas. Dan saya menempatkannya di voice mail, karena mau mengajak orang lain membuat taman manusia penuh keindahan. Siapapun Anda, di manapun Anda lahir, apapun jenis kelamin Anda, setinggi apapun pendidikan Anda, apapun agama Anda, saya kira saya tidak sedang membuat dosa dengan menyebut I love you.
Akan tetapi, dengan seluruh pengalaman di atas, saya tidak berani menyebut saya benar dan orang lain tidak tahu. Apa lagi menyebut orang lain gila. Bagi saya, keyakinan saya, argumen saya, saya coba tempatkan pada tingkatan yang sama tingginya dengan keyakinan dan argumen orang lain.
Pasalnya, sebagaimana taman yang sebenarnya, yang lebih indah bila berwarna-warni, taman manusia juga sama saja. Keindahan, paling tidak dalam keyakinan saya, akan lahir di atas terpelihara apiknya perbedaan.
Di satu senja yang mulai gelap, seorang anak tetangga mencari-cari kucing kesayangannya. Anak bule yang beribukan wanita Jawa ini, memanggil-manggil kucingnya penuh kasih sayang. Karena masuk ke halaman rumah saya, saya mencoba membantunya. Kendati dicari sampai ke pinggir kali, toh sang kucing tidak juga muncul-muncul.
Setelah malam agak larut, di balik semak-semak kecil saya melihat seekor binatang bergerak-gerak. Setelah dihampiri, ternyata ia memang seekor kucing yang kecil, kurus dan kotor. Saya coba hampiri dan bawa ke rumah sang anak tadi. Dan menanyakan kalau kucing itu yang ia cari. Eh ternyata, betul itu kucing kesayangannya.
Setelah mendengar ucapan terimakasih dari sang anak manis ini, saya kembali ke rumah. Dan malam itu, tidur saya indah sekali. Sebabnya, hari itu saya sudah membuat taman manusia penuh keindahan, hanya dengan mengangkat seekor kucing ke rumah tetangga.
Betapa indah dan produktifnya kumpulan dua ratus juta lebih manusia, bila sebagian hidup dalam taman-taman manusia penuh keindahan.
Sungguh sebuah environment of loving yang sangat menyejukkan. Semuanya penuh dengan senyum, memberi, menyanyangi, dan mencintai. Kendati Kahlil Gibran, dalam sebuah cerita pendeknya, pernah mengkhawatirkan bahwa semangat seperti ini sudah meninggalkan kota-kota modern, saya masih bersukur, di kota Jakarta yang individualis ini masih menemukan environment of loving. Sebuah lingkungan, yang menyerupai taman manusia penuh keindahan. Betapa tidak indah, tidak ada orang yang berteriak, memaki, menyalahkan, apa lagi membunuh orang sambil mengarak kepalanya, sebagaimana terjadi di Jawa Timur.
Sayangnya, saya hanya menemukan lingkungan seperti ini di pusat-pusat mainan anak-anak. Begitu sampai di jalan, di lingkungan kantor, lingkungan politik, jalanan yang penuh demonstrasi, membaca media tentang apa yang terjadi di tempat lain, saya sepertinya menemukan dunia yang amat lain.
Di jalan, ada orang yang saling serobot. Bila mana perlu sambil menyerempet. Di kantor, suasana penuh dengan sikut-sikutan atas nama prestasi. Di lingkungan politik penuh dengan orang yang haus kekuasaan. Dengan topeng demokrasi, kepentingan rakyat, pembangunan ekonomi dan gombalan sejenis, banyak politisi berani mengorbankan nyawa orang sekalipun. Di halaman-halaman media, ada ribuan laporan yang menyebar isu, kebencian, dan kedengkian.
Digabung menjadi satu, masyarakat kita memang masih jauh dari taman manusia yang penuh keindahan. Bagaimana bisa disebut indah, kalau ke kantor diselimuti was-was dicopet, dirampok atau diperkosa orang. Di mana letaknya keasrian, jika setiap hari kita membaca berita pembunuhan.
Saya memang seorang pemimpi sebagaimana John Lennon dengan lagu imagine-nya. Demikian tingginya mimpi-mimpi saya, sampai-sampai ada rekan menyebut saya hidup di langit, tidak di bumi. Pasalnya, setiap kali datang ke negeri orang, dan ada yang bertanya kewarganegaraan, saya menjawabnya dengan 'Iam a citizen of humanity'. Bila ada yang bertanya agama, saya menjawabnya dengan a religion of humanity.
Realistis atau tidak, saya menikmatinya. Akan tetapi, banyak rekan dan relasi yang mengerutkan dahi dengan gaya hidup aneh terakhir. Salah satu contoh, di voice mail yang merekam pesan-pesan telepon genggam, biasanya orang memasukkan kalimat seperti : 'maaf saya lagi tidak bisa dihubungi, silahkan tinggalkan pesan, dst,dst'. Namun, begitu memasuki voice mail saya ada puluhan ibu-ibu dan wanita yang terkejut dan lantas protes penuh tanda tanya. Biangnya, saya meninggalkan kalimat 'I love you' saja sebagai tanda tidak bisa dihubungi. Banyak yang lantas tersinggung dan tidak mau meninggalkan pesan. Sebagian masih menyempatkan diri bertanya : 'kenapa ?'. Sebagian lagi menyebut saya aneh, keliru, gila dan sebutan sejenis.
Sebagaimana Anda tahu, kata love memang berdimensi amat luas. Dan saya menempatkannya di voice mail, karena mau mengajak orang lain membuat taman manusia penuh keindahan. Siapapun Anda, di manapun Anda lahir, apapun jenis kelamin Anda, setinggi apapun pendidikan Anda, apapun agama Anda, saya kira saya tidak sedang membuat dosa dengan menyebut I love you.
Akan tetapi, dengan seluruh pengalaman di atas, saya tidak berani menyebut saya benar dan orang lain tidak tahu. Apa lagi menyebut orang lain gila. Bagi saya, keyakinan saya, argumen saya, saya coba tempatkan pada tingkatan yang sama tingginya dengan keyakinan dan argumen orang lain.
Pasalnya, sebagaimana taman yang sebenarnya, yang lebih indah bila berwarna-warni, taman manusia juga sama saja. Keindahan, paling tidak dalam keyakinan saya, akan lahir di atas terpelihara apiknya perbedaan.
Di satu senja yang mulai gelap, seorang anak tetangga mencari-cari kucing kesayangannya. Anak bule yang beribukan wanita Jawa ini, memanggil-manggil kucingnya penuh kasih sayang. Karena masuk ke halaman rumah saya, saya mencoba membantunya. Kendati dicari sampai ke pinggir kali, toh sang kucing tidak juga muncul-muncul.
Setelah malam agak larut, di balik semak-semak kecil saya melihat seekor binatang bergerak-gerak. Setelah dihampiri, ternyata ia memang seekor kucing yang kecil, kurus dan kotor. Saya coba hampiri dan bawa ke rumah sang anak tadi. Dan menanyakan kalau kucing itu yang ia cari. Eh ternyata, betul itu kucing kesayangannya.
Setelah mendengar ucapan terimakasih dari sang anak manis ini, saya kembali ke rumah. Dan malam itu, tidur saya indah sekali. Sebabnya, hari itu saya sudah membuat taman manusia penuh keindahan, hanya dengan mengangkat seekor kucing ke rumah tetangga.
Betapa indah dan produktifnya kumpulan dua ratus juta lebih manusia, bila sebagian hidup dalam taman-taman manusia penuh keindahan.
0 comments:
Posting Komentar