Kamis, 27 Mei 2010

27. Membuang Beban Tak Perlu

Kutipan dari : Gede Prama Ideas
Semoga ada manfaatnya...

Menjadi kaya dan bahagia sebenarnya murah dan mudah. Ia menjadi susah, rumit dan bahkan tidak mungkin karena banyak manusia yang bernafsu menggendong beban teramat banyak. Dan sebagian dari beban tersebut sebenarnya tidak perlu.


Profesi sebagai konsultan manajemen SDM, memaksa saya mendalami banyak sekali perkara yang berkaitan dengan councelling. Tidak hanya karena terapi-terapi SDM banyak yang bersifat behaviouristic, namun juga sering melebar ke luar bidang, termasuk manajemen keluarga pemilik perusahaan. Pekerjaan mendisain sistim, menerangkan bagaimana sistim tadi sebaiknya dilaksanakan, sering kali macet jika tidak disertai minyak pelumas yang bernama councelling. Dalam hal terakhir, saya adalah penganut aliran not knowing approach of councelling.

Dalam pendekatan ini, saya mengurangi menggunakan cara berfikir hipotetis. Bila begini maka biasanya begitu. Subyeknya, adalah klien bukan terapis. Pekerjaan seorang terapis dalam hal ini ada dua : merumuskan pertanyaan yang tepat, dan memfasilitasi klien untuk menemukan sendiri obat yang tepat bagi dirinya.

Untuk kepentingan terapi semacam inilah, maka saya sering berinteraksi dengan keluarga pemilik perusahaan secara cukup intens. Di akhir Agustus lalu, kebetulan seluruh keluarga pemilik perusahaan yang menjadi klien saya jebol desa ke Bali. Maka terbanglah saya kesana, melaksanakan tugas sebagai terapis.

Satu hal paling menarik yang saya cermati, begitu menginjakkan kaki di pulau seribu pura ini adalah langitnya yang sangat biru, dan pada malam hari memamerkan jutaan bintang yang bersinar terang benderang. Keadaannya berbeda sekali dengan langit Jakarta yang birunya sudah pudar, dan bintangnya hanya berkedip-kedip buram di malam hari.

Apa yang mau saya ceritakan dengan membedakan langit dan bintang Bali dibandingkan dengan Jakarta, adalah beban yang ditanggung dua wilayah ini.

Bali, kendati pulaunya teramat kecil jika dibandingkan dengan Jawa, menanggung beban yang jauh lebih ringan dibandingkan Jakarta sebagai Ibu kota. Tidak hanya dalam jumlah penduduk tentunya, melainkan juga dalam keserakahan untuk maju melalui banyak sektor. Di Jakarta, kita berhadapan dengan banyak sekali industri yang sama serakahnya. Di Bali, hampir semua sektor secara terintegrasi mendukung pariwisata.

Logika berfikir yang sama juga berlaku bagi manusia. Menjadi kaya dan bahagia sebenarnya murah dan mudah. Ia menjadi susah, rumit dan bahkan tidak mungkin karena banyak manusia yang bernafsu menggendong beban teramat banyak. Dan sebagian dari beban tersebut sebenarnya tidak perlu.

Dalam hal beban terakhir, ia menimpa baik orang miskin maupun orang kaya, tua maupun muda, desa maupun kota. Sebut saja soal uang dan harta. Ada orang yang kelebihan uang kemudian hidupnya jadi sangat sengsara - klien saya termasuk dalam hal ini. Ada juga orang yang kekurangan uang hidupnya juga sengsara. Ini bisa terjadi, karena dengan kehadiran uang hidup bukannya menjadi tambah sederhana, malah sebaliknya menjadi rumit dan pusing.

Saya mengenal seorang pengusaha kaya yang berumur 70-an. Di umur yang tidak lagi bisa menggendong terlalu banyak beban (fisik maupun psikologis) ini, ia masih saja mau ikut memikirkan terlalu banyak hal. Tidak ada satupun orang - termasuk anaknya - yang ia percaya. Konsekwensinya, beban kehidupannyapun menjadi demikian berat. Penyakit sering berkunjung datang.
Tukang kebun yang memelihara taman saya di rumah, sebagai contoh lain, sering mengeluh tentang sulitnya hidup di zaman ini. Dari sembako yang harganya melangit sampai dengan biaya sekolah anak yang tidak tertanggung dikeluhkannya. Tidak pernah ada cerita gembira dari orang ini.

Dua contoh ini memang amat berbeda dalam hal uang dan harta yang dimiliki. Namun, memiliki kesamaan dalam bentuk terlalu banyaknya beban yang digendong.

Nafsu untuk menggendong sebanyak mungkin hal, inilah yang sebaiknya digugat manusia di zaman yang menuntut kesederhanaan hidup dan berfikir ini.

Coba cermati berapa kalori makanan yang dibutuhkan tubuh ini untuk hidup sehat perharinya ?. Berapa ongkos riil pergi ke kantor ?. Berapa harga pakaian yang bisa membuat tubuh kita nyaman dan bebas dari penyakit ?. Berapa besarnya rumah yang sesuai standar kesehatan ?. Tanpa dibumbui oleh gengsi, status, keinginan untuk tampil lebih dibandingkan orang lain, dan nafsu-nafsu sejenis, semua tuntutan kehidupan di atas sebenarnya relatif mudah untuk dipenuhi.

Sayangnya, oleh beban-beban tidak perlu seperti gengsi, semuanya dibuat rumit dan sulit.

Nah, di zaman yang jumlah PHK-nya tidak lagi bisa dihitung, frekwensi kerusuhan terjadi teramat sering, harga sembako menembus batas psikologis semua orang, ada baiknya untuk melihat kembali, mana beban-beban yang perlu, dan mana beban yang tidak perlu.

Kalau langit dan bintang Bali bisa lebih biru, lebih terang dan lebih indah dibandingkan dengan langit dan bintang Jakarta, karena beban yang lebih ringan, bukankah hidup juga akan lebih mudah dan murah dengan logika yang sama ?

0 comments:

Posting Komentar

SHARE EXPERIENCE © 2008 Por *Templates para Você*