Senin, 24 Mei 2010

24. Manusia Terkaya Di Dunia

Kutipan dari : Gede Prama Ideas
Semoga ada manfaatnya...

Sebagaimana echo di alam terbuka, kalau kita meneriakkan kata 'bangsat' maka echonya juga bangsat. Kalau kita meneriakkan kata 'kaya' maka echonya juga kaya.

Dalam hal cara bekerja, sudah lama saya meniru cara kerja Tom Peters. Sebagaimana sering ditulis di banyak bukunya. Kendati Tom merupakan pendiri dan pemilik kelompok usaha Tom Peters yang namanya menjulang di seluruh dunia, ia bersama keluarganya tinggal di daerah pertanian yang jauh dari perkotaan. Berkat kemajuan teknologi informasi, ia mengendalikan dan melaksanakan pekerjaannya sambil melaksanakan hobinya sebagai petani.

Cara kerja seperti ini, sudah tentu belum terlalu biasa di masyarakat kita yang mengenal berangkat pagi dan pulang sore hari. Segelintir tetangga saya di River Park Bintaro Jaya sana, bahkan ada yang mencurigai saya sebagai putera salah seorang pengusaha kaya di negeri ini. Padahal, saya lahir dari seorang ayah petani kecil, drop out SD Belanda, Ibu buta huruf, dan keduanya masih tinggal di sebuah desa di lereng bukit.

Setelah diusut asal muasal 'kecurigaan' tetangga, rupanya ada yang heran dengan cara kerja ala Tom Peters ini. Pagi saat orang ramai-ramai berangkat ke kantor, mereka melihat saya memegang beberapa koran sambil duduk di pinggir kali yang airnya mengalir asri. Sore hari ketika orang kelelahan baru habis disiksa oleh macetnya Jakarta, mereka melihat saya memegang gunting, selang air dan pupuk buat tanaman penghias rumah.

Bukan gaya dan niat saya untuk menunjukkan sebuah kelebihan ke orang lain. Namun, sudah lama sekali saya mempraktekkan hidup seperti sungai. Mengalir, mengalir dan mengalir. Kemanapun ia mengalir, saya nikmati saja dengan penuh puji sukur kehadiran Tuhan.

Banyak tetangga yang mobilnya lebih bagus. Perusahaannya lebih besar. Depositonya lebih banyak. Punya latar belakang lebih baik. Lebih dikenal publik dibandingkan saya. Dan saya yakin, mereka bahagia dengan cara hidup mereka. Namun, saya yakin sekali kalau saya mengucapkan terimakasih ke Tuhan dengan frekuensi yang jauh lebih banyak dibandingkan mereka. Sebab, setiap kali ada kenikmatan sekecil apapun yang hadir dalam kehidupan, bibir saya terlalu mudah untuk berucap : 'terimakasih Tuhan'.

Salah satu nyanyian yang diimport kedua anak saya setelah menemani orang tuanya sekolah di Inggris sana, adalah nyanyian yang setiap hari mereka nyanyikan saat mengawali dan mengakhir kelas. Demikian menyentuhnya nyanyian ini, sampai saya hafal di luar kepala. "Thank you for the world so sweet. Thank you for the food we eat. Thank you for the bird can sing. Thank you God for everything. Amin". Demikianlah bunyi nyanyian pendek yang memompa semangat dan motivasi saya setiap hari.

Setiap kali membaca urutan majalah Forbes tentang orang-orang kaya dunia, bertemu dengan pengusaha yang uangnya banyak, demikian juga membaca berita tentang bunuh dirinya sebuah keluarga di Kalimantan Barat sana karena tidak kuat menanggung beban hidup ini, nyanyian pendek namun cantik ini terdengar lagi di telinga saya.
Setetes pertanyaan yang tersisa buat mereka : seberapa seringkah mereka mengucapkan terimakasih ke Tuhan ?

Bukan kata terimakasih itu yang penting, apa lagi balasan yang kita harapkan dari Tuhan, namun echo balik yang ditimbulkan oleh badan kita dan alam semesta. Sebagaimana echo di alam terbuka, kalau kita meneriakkan kata 'bangsat' maka echonya juga bangsat. Kalau kita meneriakkan kata 'kaya' maka echonya juga kaya.

Dalam sebuah penerbangan dari Pekan Baru ke Jakarta, sehabis mengajar di sebuah perusahaan minyak, saya pernah bertemu dengan seorang anak muda yang gaya hidupnya sangat modern untuk ukuran saya. Bekerja di depan komputer saat menunggu pesawat yang kena delay. Membawa kamera yang disambungkan ke telepon genggam, dan pada saat yang sama bercanda lewat video conference dengan putera-puterinya yang sedang menunggu di Jakarta. Kebetulan, orang ini duduk persis di sebelah saya. Ketika diajak diskusi, rupanya orang ini menaiki tangga karirnya secara amat unik.

Sejak zaman SMA dulu, ia adalah seorang pembalap. Demikian tekunnya ia dengan dunia balap ini, kendati sudah menyandang ijazah sarjana komputer dari salah satu universitas Amerikapun, ia tetap konsisten menekuni hobinya sebagai pembalap. Kendati pernah masuk rumah sakit tanpa ditengok orang tua dan istri - karena benci profesi balap - ia tetap saja menekuni hobi yang satu ini.

Turning point terjadi ketika ia bersama salah seorang pembalap terkenal mendirikan sekolah safety driving. Bisnis terakhir ini, kendati sempat ditandai oleh banyak dinamika, menjadi pendukung utama hidupnya. Terakhir, ia adalah salah seorang manajer yang berwilayah Asia Pasifik dari sebuah perusahaan raksasa yang bergerak di bidang safety and quality. Pekerjaannya, tidak lain dan tidak bukan, mengajar dan mengembangkan teknik mengemudi yang aman. Hampir semua perusahaan minyak yang beroperasi di Asia Pasifik menjadi kliennya.

Kembali ke cerita tentang echo kehidupan, anak muda terakhir ini sepanjang hidupnya dihabiskan untuk 'berteriak' tentang sukses melalui balap. Echo-nya, sebagaimana cerita di atas, ia menaiki karir prestisius dan pada saat yang sama melaksanakan hobi.

Kalau Anda tanya, apa yang saya 'teriakkan' dalam kehidupan, ya itu tadi kata 'terimakasih'. Kata terakhir ini kemudian dibungkus dengan spirit yang ditulis Morihei Ueshiba : 'Those who are possessed by nothing possess everything'. (Mereka yang tidak terikat pada apapun, memiliki segalanya). Ini definisi saya tentang manusia terkaya di dunia. Sekaligus 'biang kerok' yang menyebabkan tetangga mencurigai anak kampung seperti saya ini sebagai anak orang kaya.

0 comments:

Posting Komentar

SHARE EXPERIENCE © 2008 Por *Templates para Você*