Sabtu, 22 Mei 2010

23. Naik Bukanlah Satu-Satunya Jalan

Kutipan dari : Gede Prama Ideas
Semoga ada manfaatnya...

Keberhasilan bisa diraih dengan menjaga keseimbangan antara berfikir dan bertindak. Sebab, berfikir tanpa bertindak hanyalah kata-kata kosong. Bertindak tanpa berfikir sering berakhir dengan ketolololan.

Di masa krisis sebagaimana kita alami sekarang ini, stres, frustrasi, marah, benci, dan bahkan gila adalah sebuah pemandangan yang tidak terlalu aneh. Laporan investigatif sejumlah media bahkan menunjukkan bahwa wanita penghibur jumlahnya membengkak, angka perceraian meninggi, jumlah pasien yang terkena stres meningkat tajam, kecenderungan bunuh diri juga menaik, dan sejumlah rumah sakit gila sudah mulai kehabisan kapasitas.

Interaksi pribadi saya dengan sejumlah pengusaha, manajer, supervisor dan juga sahabat juga menunjukkan kecenderungan yang sama.

Banyak pengusaha yang dibelit hutang. Tidak sedikit diantara mereka yang maju kena mundur kena : omzet tidak naik, biaya sulit dikurangi. Manajer dan supervisor juga setali tiga uang. Ancaman PHK ada di mana-mana, sementara alternatif yang tersedia di luar semakin menyempit.

Digabung menjadi satu, grafik kehidupan kita di masa krisis ini, memang ditandai oleh jurang yang tajam dan dalam. Orang yang tadinya sangat kaya menjadi manusia termiskin di dunia akibat utang dolar. Orang yang tadinya sangat berkuasa sekarang menjadi obyek cacian di mana-mana. Orang yang tadinya menjadi pengunjung lapangan golf dalam frekwensi yang tidak terkalahkan, sekarang mesti melego jam tangan untuk beli sembako.

Lebih dari sekadar perasaan maklum, pertanyaan yang muncul dari sini, kenapa bisa terjadi stres dan frustrasi massal seperti ini ?

Pada esensinya, asal dari banyak sekali frustrasi adalah cara berfikir membandingkan. Kita membandingkan kehidupan hari ini yang penuh krisis dengan kehidupan kemaren yang penuh gemerlap. Mereka yang susah memperoleh sembako membandingkan dirinya dengan orang lain yang makan enak di restoran. Mereka yang terpaksa menjual mobil untuk melunasi hutang, membandingkan dirinya dengan orang lain yang naik mercedes.

Proses pembandingan - dalam era yang mengagungkan prestasi ini - lebih banyak ke atas dibandingkan dengan ke bawah. Konsekwensinya, yang disebut jalan karir hanyalah gerakan naik ke tangga karir yang lebih tinggi. Begitu ada gerakan turun, ia disebut kecelakaan, tragedi atau malah akhir dari dunia.

Padahal, sebagaimana jalan yang sebenarnya, tidak pernah ada jalan yang hanya ditandai oleh tanjakan. Sebuah pepatah Zen bahkan bertutur : 'bila ada gunung tinggi, pasti ada lembah yang dalam'.

Gunung dan lembah, dalam pengertian terakhir, adalah dua jalan yang saling mengisi dan saling melengkapi. Tidak pernah terjadi ada gunung tanpa lembah. Atau, lembah tanpa dataran tinggi.

Dengan semangat yang sama, karir saya kira juga demikian. Seorang anak petani dari sebuah desa kecil di Jawa Tengah, karirnya merangkak sampai di puncak hirarki kekuasaan di republik ini. Pada akhirnya, setelah di puncak, hukum alam mengharuskannya untuk turun dari situ. Seorang William Soeryajaya pernah demikian berkibar bisnisnya. Kemudian tersandung oleh badai dahsyat. Bahkan, sempat dibawakan peti mati segala. Sekarang, bangkit lagi menjadi 'pahlawan' agri bisnis. Seorang Lady Diana, pernah mengalami banyak naik turun. Menikah melalui pesta pernikahan yang paling dikagumi. Diberitakan berselingkuh dengan orang lain. Menjadi pahlawan para korban perang. Dan terakhir betapa tinggipun ia dipuja, tetap tidak kuasa menghadapi hukum alam yang bernama kematian.

Apa yang bisa dipelajari dari semua ini, kehidupan anak manusia yang manapun, senantiasa ditandai oleh dinamika naik turun. Siapapun tidak bisa menolaknya.

Akan tetapi, logika perbandingan - yang oleh banyak sekolah disebut sebagai bagian dari proses analisis - cenderung menerima gerakan naik, dan menolak gerakan turun.

Padahal, dengan dibekali sedikit kedewasaan, gerakan karir yang menurun sama nikmatnya dengan gerakan karir yang menaik.

Rekan saya bersukur dengan datangnya krisis, karena makan dagingnya berkurang dan minyakpun bisa dihindari. Akibatnya, kesehatannya jauh membaik. Seorang anak mantan pejabat tinggi, bisa menilai secara jernih siapa kawan beneran, mana penjilat tak berbudi, setelah sang ayah terjungkal dari kursi kekuasaan. Sahabat saya yang mantan presdir sebuah bank swasta baru sekarang bisa merasakan nikmatnya disayangi istri dan anak-anak. Sebab, selama menjabat tidak pernah ada kesempatan untuk melakukannya. Seorang manajer korban PHK terpaksa pindah rumah ke rumah kontrakan di sebuah kampung yang amat sederhana. Belakangan, ia baru menyadari ketulusan orang kampung yang tadinya dikira hanya bisa menjadi biang kerok. Teman saya yang pengusaha belakangan fasih sekali berbicara agama dan filsapat. Rupanya, waktu luangnya yang demikian berlimpah digunakan banyak membaca. Hasilnya, banyak proses refleksi yang terjadi dalam dirinya.

Anda boleh tidak sepakat dengan saya. Bagi saya, keberhasilan bisa diraih dengan menjaga keseimbangan antara berfikir dan bertindak. Sebab, berfikir tanpa bertindak hanyalah kata-kata kosong. Bertindak tanpa berfikir sering berakhir dengan ketolololan. Nah, waktu luang yang berlimpah sebagaimana dihadirkan oleh keadaan krisis, adalah momentum yang amat tepat untuk mengkaji kembali keseimbangan ini.

Mereka yang terlalu banyak berfikir, datanglah ke lapangan dan saksikan secara langsung bagaimana kompleksitas lapangan bekerja. Mereka yang terlalu banyak bertindak, inilah saat yang tepat untuk belajar.

Morihei Ueshiba dalam The Art of Peace pernah bertutur : 'progress comes to those who train and train.'

Dalam perspektif ini, grafik kehidupan yang menurun sebenarnya juga sebuah jalan. Sebagaimana jalan yang sebenarnya, saat ia menurun, disamping beban kaki lebih ringan dan perjalanan lebih nikmat, bukankah ini saat yang tepat untuk mengumpulkan energi agar perjalanan lebih cepat di tanjakan berikutnya ?

0 comments:

Posting Komentar

SHARE EXPERIENCE © 2008 Por *Templates para Você*